....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi....

Selasa, 06 Oktober 2009

Gula Lempeng dari Nusa Lontar

Sumber : http://blog.reynoldsumayku.com/?p=1102










Gula Lempeng dari Nusa Lontar

Andreas Mooy mengaku lupa berapa umurnya secara persis. Ia hanya memberi ancar-ancar di atas 70 tahun. Wajahnya memang dipenuhi keriput. Tetapi rekan saya om Yeremi berbisik kepada saya, mungkin Pak Andreas salah hitung umur. Buktinya, Andreas berkali-kali memanjat pohon lontar pagi itu dengan kecekatan yang sangat mencengangkan untuk ukuran lelaki berumur 70-an. Otot-ototnya tampak sungguh liat.

Kami sedang mengunjungi kebun dekat kediaman Andreas dan istrinya yang keempat, Yunce Unbanu (asal Timor), di Desa Oehandi, Pulau Rote. Saya ingin melihat dari dekat bagaimana air dari pohon lontar diproses menjadi gula berbentuk lempengan-lempengan kecil. Dengan latar belakang suara tawa anak-anak yang sedang bermain, Andreas yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu sedang menunjukkannya.

Dengan bantuan Om Yeremi sebagai penerjemah, gambaran tentang gula lempeng saya dapatkan. Juni-Juli adalah bulan-bulan di mana lontar paceklik dari nira. Airnya kering. Kemudian mulai Agustus hingga November adalah saatnya masyarakat Rote banyak membuat gula lempeng dan gula cair dari pohon lontar, karena airnya sedang banyak-banyaknya. Desember hingga Maret, dengan asumsi standar bahwa itu sedang musim penghujan, pohon-pohon lontar biasanya tidak menghasilkan air sama sekali.

Jika Andreas bertugas memanjat pohon, mengambil nira, dan menurunkannya ke bawah dengan wadah dari daun lontar, Yunce bertugas merebus, mencetak, mendinginkan, kemudian menjual gula-gula lempeng yang dihasilkan. Ia biasanya menjual kepada pengumpul dengan harga 100 rupiah per lempeng. Dalam sehari mereka membuat minimal 150 lempengan gula.

Waktu memotretnya hanya sekitar dua jam lebih sedikit. Saya jauh dari kata puas dengan hasilnya. Tetapi setidaknya, setelah yang satu ini saya merasa lega karena target dari perjalanan ke Rote cukup terpenuhi.


Keterangan Foto :
(1) Om Yeremi Pah (jaket merah) di bawah pohon-pohon lontar dekat Danau Tua. Di Rote, ada satu jenis pohon lagi yang mirip lontar yakni pohon gewang. “Tetapi gewang tidak begitu banyak kegunaannya dibanding lontar,” katanya.

(2) Andreas Mooy di atas pohon lontar.

(3) Wadah yang digunakan terbuat dari daun lontar pula. Ini Pak Andreas Mooy dari dekat. Anda percaya ia berumur 70-an tahun? Saya percaya.

(4) Yunce Unbanu tengah mendidihkan air nira dari pohon lontar. Awalnya berwarna putih, ketika mengental akan berwarna cokelat.

(5) Gula lempeng yang masih cair dituangkan ke dalam cetakan-cetakan yang dibuat dari daun lontar juga. Kemudian didinginkan.

(6) Sudah mulai mengering.


Lontar si Pohon Gula

Mungkin belum banyak yang tahu, pohon lontar telah memberikan kehidupan bagi orang Rote dan Sabu. Gula nira hasil penyadapan selain bernilai ekonomis, juga merupakan makanan pokok mereka. Lontar juga tumbuhan serbaguna dan jadi sumber penghidupan utama di ke dua pulau yang beriklim kering itu. Batangnya dibuat bahan papan, pelepahnya dibuat dinding rumah dan kayu bakar, daun untuk atap, dan perdagangan gula nira hingga ke luar pulau telah terbukti mampu membiayai sekolah anak-anak di Rote dan Sabu.

Lontar [ Borassus sundaicus Beccari] adalah tanaman penghasil gula paling efisien di dunia. Lontar termasuk tanaman berkelamin ganda. Mayang jantan muncul dari pucuk lontar berupa tunas-tunas bercabang tajam berpasangan. Mayang betina menghasilkan tandan-tandan berisi buah. Buah lontar di luar Rote dan Sabu dikenal dengan nama siwalan, terutama di Jawa. Di Jawa, buah lontar lebih banyak di panen dibandingkan disadap niranya. Sebaliknya buah siwalan jarang ditemui di Rote dan Sabu akibat penyadapan nira yang memotong mayang jantan sehingga tidak menghasilkan buah.

Buah lontar atau siwalan termasuk sulit didapat di Indonesia, kalaupun ada tidak dijajakan secara khusus seperti pada musim buah durian atau rambutan. Buahnya kenyal dan manis hampir seperti kolang-kaling. Di Jakarta setahu penulis siwalan dijajakan di daerah Pasar Baru dan Ancol. Di pasar-pasar tradisional di Jakarta sulit dijumpai penjaja siwalan, terlebih lagi di supermarket. Sebaliknya, kabar dari seorang teman, Thailand malah sudah mengalengkan siwalan sebagai komoditi ekspornya.

Pohon lontar disebut Due dalam bahasa Sabu, buah mudanya disebut Wohiru, dan buah yang telah tua disebut Wokeli. Pengambilan nira adalah proses memotong untaian bunga jantan setahap demi setahap setiap hari. Dalam dua bulan dapat dihasilkan nira sebanyak 3-5 liter, bahkan seorang yang ahli memanen dapat menghasilkan 10 liter perpohon. Penyadap nira yang terampil dapat menyadap dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa ia harus turun dari pohon.

Menurut penelitian James Fox, praktek pengambilan Nira di Rote menghasilkan jumlah nira yang beragam selama satu musim. Namun jumlah nira sangat ditentukan oleh jumlah mayang yang disadap. Sebatang lontar dengan lima mayang mampu menghasilkan 6,7 liter nira sehari atau 47 liter seminggu. Diakhir masa penyadapan sebatang pohon lontar dengan satu mayang masih dapat menghasilkan nira 2,25 liter perhari atau 15 liter seminggu.

Hasil gula nira di Sabu disebut Donahu, sedangkan setelah dimasak hingga menjadi gula padat disebut Domegeru. Cara masak nira orang Sabu dan Rote tidaklah sama. Orang Sabu memasak lebih lama, sehingga gula menjadi lebih hitam dan kental, sedangkan orang Rote memasak nira dengan perubahan hanya 15% saja.

Perbanyakan pohon lontar kebanyakan terjadi secara alami. Biji yang tua dibiarkan di sekitar pohon, lalu terbawa aliran air ketika hujan, atau dibawa hewan liar, dan tumbuh pada tempat-tempat di sekitar kebun. Adapula orang mengambil bibit itu lalu menanamnya ditempat yang ia kehendaki. Pada usia 5 tahun lontar baru siap di panen. Umur pohon lontar sangat panjang. Seorang Sabu yang saya temui, Matheus Liwerohi, mengatakan bahwa ia mewarisi kebun lontar yang telah berusia tiga generasi sejak jaman kakeknya, dan hingga kini masih diambil niranya.

Gula nira kental merupakan bahan pangan yang umum dikonsumsi orang Sabu dan Rote. Jagung atau rebusan daun singkong atau sayur-sayuran lainnya cukup “dicolek” seperti makan lalap dan sambal. Minumnya pun air nira. “Badan jadi sehat dan bertenaga”, kata Matheus menyakinkan saya.

Selain diolah sebagai gula padat, nira juga dibuat minuman tuak atau disebut sopie. Nira dicampur air dan bahan-bahan akar tumbuhan tertentu direndam satu malam dan ditutup rapat agar terjadi fermentasi. Kemudian hasilnya disuling [direbus dalam nyala api kecil dan uapnya dialirkan melalui pipa dan ditampung].

Cuka nira juga dibuat orang Sabu dan Rote. Cara membuatnya lebih mudah lagi. Cukup masukan nira dalam wadah semacam jerigen dan ditutup rapat hingga satu bulan. Cuka nira ini merupakan bumbu yang sedap untuk memasak. Ikan sebelum digoreng cukup dicelup nira. Cuka nira hanya dibuat untuk keperluan memasak keluarga, karena waktu pembuatan yang cukup lama tidak segera menghasilkan uang, bila dibandingkan dengan memproduksi air nira atau gula.

Begitu cintanya orang Sabu pada Lontar, hingga Matheus yang telah merantau puluhan tahun di Kupang, selalu teringat syair dari kampung halamannya “ Bole belo raidi raihu, Rai due nga donahu” yang artinya kurang lebih “jangan lupa tanah air tanah Sabu yaitu tanah nira dan gula”.[*]

Sumber : http://riobunet.blogspot.com/