Menengok Industri Gula Rumahan
Kawasan Balandangan Jeneponto tidak hanya dikenal sebagai tempat wisata yang menyajikan keindahan alam yang mempesona. Di tempat ini juga dikenal sebagai sentra pembuatan gula merah pohon lontar.
Ribuan hektar pohon lontar yang menjadi bahan baku utama, terbentang jauh sepanjang mata memandang, menghiasi pantai-pantai dan bukit-bukit nan eksotik di Jeneponto.
Dg. Tiro, bapak kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai pembuat gula merah yang menggeluti usaha pembuatan gula merah dari pohon lontara. Sudah sejak lama ia bersama perajin lainnya cukup berhasil memproduksi gula-gula merah berkualitas yang siap dikonsumsi masyarakat sekitar Jeneponto, Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya.
Dari sadapan nira dari pohon lontara, tercipta gula merah yang memiliki cita rasa khas. Beratus biji hingga beribu biji gula merah itu setiap harinya di hasilkan oleh Dg. Tiro dan rekan-rekan sesama perajin lainnya di Ujung Genteng.
Menurut Dg. Tiro, gula merah yang dihasilkan pohon lontara (lokal: Tala') memiliki cita rasa yang khas. Tak jarang banyak masyarakat yang berminat untuk memakainya. Selain bentuk potongan yang lebih besar dari gula kebanyakan, gula merah pohon lontara relatif lebih murah. Selain itu, nira dari pohon lontara bisa setiap hari disadap tanpa perlu khawatir kehabisan pasokan.
Dalam satu lokasi kawasan pembuatan gula merah pohon lontara, terdapat 10 sampai 30 perajin pembuat gula. Biasanya dalam satu kawasan tersebut ada satu pengelola yang memiliki modal lahan dan perkebunan lontara yang disebut sebagai si mandoro.
Para perajin ini biasanya diberikan kebebasan untuk mengambil nira lontara dan mengolahnya menjadi gula, dengan ketentuan si pemilik kebun wajib mendapat setoran produk gula setiap bulannya.
"Satu perajin wajib memberi gula merah 50 biji per hari ke si punya kebun" kata Dg. Tiro saat berbicang dengan team Lontarasakti, di kawasan Balandangan.(9/11/2008).
Menurutnya dalam satu kawasan setidaknya si pemilik lahan harus menyediakan hingga puluhan hektar pohon lontara untuk memenuhi kebutuhan bahan baku nira bagi para perajin. Bisa dibayangkan, jika harga 1 biji gula merah sebesar sabun mandi di hargai Rp 3.000 satu perajin bisa menghasilkan uang Rp 250.000 per bulan buat si pemilik kebun.
Jika itu dikalikan hingga 50 perajin maka setidaknya uang belasan juta akan masuk ke kantong pemilik kebun per bulannya, tanpa harus bersusah payah.
Dari sisi perajin, mengelola pembuatan gula merah cukup menggiurkan juga, maklum rata-rata produksi satu orang perajin bisa menghasilkan 20-50 biji gula merah per harinya. Dari total produksi itu si perajin harus mengumpulkan nira dari puluhan pohon kelapa setiap pagi hari.
"Untuk buat 25 kg gula merah, itu diambil dari sadapan 20 tongka (tong bambu)" timpal Dg. Labbang seorang perajin lainnya.
Menurut Dg. Labbang biasanya satu perajin rata-rata mendapatkan sadapan nira mencapai 20 liter per hari. Dari bahan baku itu bisa dihasilkan kurang lebih linier dengan jumlah produksi per kilogram gula.
Dg. Labbang, mengaku ia bisa mendapat keuntungan bersih per harinya antara Rp 50.000-75.000 per atau setara rata-rata 2 kwintal gula merah per bulan. Ia mengaku biasa menjual kepada tengkulak yang berada di wilayah perkebunan. Keuntungan itu setelah dipotong oleh biaya-biaya untuk kayu bakar kebutuhan 1 bulan kayu dan sene (obat biang).
"Yang berat itu memang di kayu bakar, satu orang sebulan bisa butuh 2 mobil kayu bakar, satu mobil Rp 250.000 dan obat biang sehari Rp 5.000,"
Soal proses pembuatan gula merah kelapa, menurut Dg. Labbang tidaklah susah. Setelah memperoleh sadapan di pagi hari, ia harus menyiapkan tungku besar kayu bakar untuk menggodok nira kelapa. Proses penggodokannya memakan waktu hingga 2 sampai 3 jam, setelah itu adonan mulai mengental dan siap untuk di taruh ke cetakan tempurung kelapa.
"Kita memang jual Rp 2.000 per biji, tapi saya juga nggak tahu dari tengkulak jual ke pasar Tamanroya berapa,"
Meskipun begitu kata Dg. Labbang, usaha pembuatan gula merah rumahan baginya cukup bisa menghidupi keluarganya. Selain itu, pasar gula merah juga cukup tinggi terutama untuk keperluan bahan baku makanan, minuman dan lain-lain. Sehingga ia optimistis industri semacam ini meskipun berskala kecil bisa menjadi roda ekonomi masyarakat desa. (DD/Lontara Sakti)
Sumber : http://lontarasakti.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar