Geliat Masyarakat Berbudaya Lontar (Siwalan)
BEGITU menyebut Rote Ndao, yang terbayang adalah pohon lontar (Borassus flabelliber) dan geliat warganya mendayagunakan habis seluruh potensi ekonomis pohon itu, dari akar hingga pucuknya. Warganya merupakan basis masyarakat yang berbudaya lontar.
Nyaris tidak ada bagian dari lontar yang tidak digunakan. Seni musik masyarakat di daerah ini, misalnya, juga diekspresikan lewat lontar. Bagian yang memberi ruang resonansi pada sasando (alat musik petik tradisional Nusa Tenggara Timur asal Rote Ndao) terbuat dari daun lontar.
Sejak berabad-abad silam, lontar pun telah menjadi semacam "pohon kehidupan" yang memberi napas hidup pada masyarakat Rote Ndao. Selain sumber pangan, sarana bantu kesehatan, dan stationery, lontar adalah sumber uang.
Misalnya, tandan bunga lontar selain bisa digunakan untuk obat pegal linu, lebih sering disadap untuk diambil niranya, yang merupakan hasil utama dan berguna untuk pembuatan gula serta minuman beralkohol. Buah muda terkadang juga dapat dimakan.
Sabut buah lontar biasanya digunakan sebagai pewangi dalam pembuatan kue, tetapi sedikit sekali warga yang melihat peluang ini. Batang dan daunnya biasa digunakan sebagai bahan utama bangunan rumah dan itu merupakan kebiasaan turun-temurun.
Ketika pada zaman modern orang menggunakan lem sintetis, penduduk Rote Ndao sudah sejak dahulu kala menggunakan getah lontar sebagai perekat. Daun lontar, selain untuk atap rumah, juga digunakan sebagai bahan baku produk utama anyaman dan kipas.
Meskipun demikian, di antara banyak produk olahan pohon lontar atau siwalan ini, hanya ada satu hal yang tidak pernah bergeser, yakni nira dan produk turunannya berupa gula cair (penduduk lokal menyebutnya gula air) dan gula padat (gula batu/lempeng).
Ketika perekat digantikan oleh lem sintetis, bahan bangunan beralih ke seng dan semen, obat pegal linu dan pewangi digeser oleh produk industri, nira dan gula tetap menjadi primadona. Nira dan gula menerobos hingga kota kabupaten dan provinsi.
HINGGA kini kehidupan masyarakat Rote Ndao masih sangat bergantung pada kemurahan alam pohon lontar. Setiap musim paceklik tiba, hampir bersamaan dengan datangnya kemarau pada April-November, nira/gula menjadi penopang hidup mereka.
Jika haus dan lapar, biasanya mereka meminum nira dan air gula (air yang diaduk dengan dua-tiga sendok makan gula cair atau gula semut). Air gula untuk menahan rasa lapar. Dengan pola sekali makan dalam sehari, bahan makanan yang diperoleh dari hasil menjual gula dan nira hanya dimakan malam hari atau siang hari.
Penduduk Rote Ndao, seperti juga di Sabu, lebih banyak minum dibandingkan dengan makan. Kebiasaan ini terjadi karena tanaman pangan dan ternak umumnya mati pada saat kemarau panjang. Kabupaten paling selatan di Indonesia, yang dekat dengan Australia, ini gersang dan tandus.
Tanaman pangan dan hortikultura yang diusahakan di sini biasanya jagung, padi ladang, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Ternak besar dan kecil berupa sapi, kuda, kambing, dan paling banyak domba. Rote sering dijuluki pulau domba.
Sedangkan tanaman pangan dan hortikultura yang tumbuh di musim hujan yang singkat (sekitar 3-4 bulan) biasanya dirobohkan oleh badai atau siklon tropis yang pasti datang setiap tahun. Selama musim hujan ini, badai sudah dua kali melanda NTT, termasuk Rote Ndao.
Itu sebabnya dalam berbagai literatur yang ditulis oleh cendekiawan Barat tentang penduduk Rote, Ndao, Sabu, dan masyarakat berbudaya lontar lainnya, mereka dikategorikan sebagai non-eating people. Kehidupan masyarakatnya amat sederhana.
Sejak gong persiapan sebagai daerah otonom atau kabupaten definitif ditalukan lebih kencang pada tahun 2001, hingga akhirnya dikukuhkan pada tahun 2002, rentang kendali wilayah semakin pendek. Penduduk miskin mulai lebih cepat diperhatikan.
Geliat ekonomi masyarakat baru mulai terasa bersamaan dengan pembukaan isolasi wilayah yang saat ini sedang dikerjakan di poros utama yang menghubungkan Pantai Baru, Baa, Batutua, dan Fapela (80,2 kilometer). Pantai Baru menjadi pintu masuk jalur laut, yang biasa didatangi feri dua kali sehari dari Kupang.
Markus DM Welkis dan Jonny Y Amalo, dua pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, mengatakan, pembukaan isolasi wilayah ini sangat penting bagi kemajuan wilayahnya. Sebab, sarana transportasi darat di sini masih serba terbatas.
Welkis, yang menjabat Sekretaris Kabupaten Rote Ndao, menjelaskan, sebagai sebuah kabupaten baru, Rote Ndao sedang memfokuskan perhatian pada sektor kelautan dan perikanan untuk memberi ruang pada budidaya rumput laut dan budidaya ikan. Juga tidak ketinggalan peternakan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata.
Itulah sektor-sektor unggulan yang akan menguras anggaran daerah di pos pembangunan fisik. Jika direncanakan dengan baik, sektor kelautan dan perikanan serta pariwisata memiliki peluang sangat menjanjikan di sini dibandingkan sektor lain.
Nembrala, Bo’a, Deseli, dan Fapela adalah obyek-obyek wisata andalan di sini, bahkan di NTT. Nembrala, misalnya, memiliki garis pantai sekitar lima kilometer yang bebas polusi dan berpasir putih. Gelombang lautnya terbaik di kelas dunia untuk berselancar.
Hanya karena isolasi wilayah dan miskin promosi, potensi itu jarang dikenal. Masih sedikit pula petani dan nelayan yang membudidayakan rumput laut. Nelayannya pun masih tradisional. Warga masih tetap hidup dari pohon lontar. (Kompas - Pascal SB Saju)
Sumber : http://arengasugar.multiply.com/journal/item/100/Geliat_Masyarakat_Berbudaya_Lontar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar