PATI WOLO : MASA NIRA SIWALAN TIDAK BERPRODUKSI
Oleh : Dian Kusumanto
Menjelang pergantian tahun kemarin penulis sempat ke Tuban. Mampir dari tugas kantor mengawal kunjungan belajar para PPL dari Kabupaten Nunukan ke Jogjakarta dan Malang. Yaa.. sambil mengadakan TOT ke kampung halaman. TOT itu adalah kegiatan ”tengok orang tua”, bukan training of trainers lho. Dengan naik bus umum seusai acara kantor dari Malang meuju tujuan TOT pertama ke Banyuwangi. Sedangkan TOT selanjutnya menuju Tuban, tepatnya di Merakurak.
Di Banyuwangi penulis menyempatkan waktu untuk mengunjungi kebun kelapa dan mencari info tentang pengolahan nira kelapa menjadi gula merah. Tentu saja mengumpulkan koleksi foto-foto untuk bahan publikasi di blogspot ini. Demikian juga pada saat penulis ke Tuban, meluangkan kesempatan kembali ke Desa Boto Kecamatan Semanding. Sebenarnya kampungnya Pak Sogi ini adalah daerah perbatasan antara Kecamatan Merakurak dan Semanding dan lebih dekat dengan tempat TOT penulis.
Pak Sogi pada masa pati wolo lebih banyak pergi ke ladang untuk tanam jagung, ubikayu, petik buah Srikaya, piara Sapi dan Kambing. Kalau dulu sering pergi ke Bali untuk menjadi tukang bangunan.
Masa-masa seperti ini disebut sebagai masa ’pati wolo’, artinya adalah matinya produksi nira Siwalan dari tandan bunga (wolo). Sebenarnya juga tidak kosong sama sekali, tapi produksi nira sangat sedikit sekali. Masa-masa yang paling ”kering” ini biasanya akan berlangsung sekitar 3 bulan. Dengan demikian aktifitas panjat-memanjat berkurang drastis, barangkali hanya satu-dua pohon saja yang masih ada ’wolo’nya.
Oleh karena itu ”bethek” yaitu bambu penampung nira di atas pohon itu lebih banyak yang teronggok di bawah, berkumpul ramai-ramai sesama bethek yang sedang cuti bersama. Saat-saat begini biasanya digunakan juga untuk mempersiapkan bethek-bethek baru, karena ada saja bethek yang bocor atau retak.
Bethek yang sedang masa istirahat pakai.
Ada ciri khas dalam memperlakukan bambu untuk dijadikan bethek, centhak ataupun bonjor. Bambu diserut, dibersihkan dan dihaluskan seluruh permukaannya, kemudian bibirnya ditipiskan sehingga ada kesan isinya lebih banyak dan lebih ringan. Tipisnya bibir bethek, centhak dan bonjor ini yang saya maksud sangat khas.
Bethek berfungsi untuk menampung nira di atas pohon, sedang centhak adalah tempat untuk minum (gelas) LEGEN atau TUAK. Maka ada ukuran yang khas bagi centhak ini, biasanya juga sama dengan ukuran volume gelas, yaitu sekitar 200 sampai 300 ml. Centhak sekarang juga agak susah ditemui, banyak diganti dengan gelas beling atau gelas plastik, lebih praktis dan gampang mencucinya. Kalau centhak lebih ribet membawanya dan lebih berat.
Sedangkan bonjor dibuat lebih panjang yang terdiri dari beberapa ruas bambu, yang tingginya sekitar 1 sampai 1,5 meter, gunanya untuk tempat menampung nira LEGEN atau TUAK. Kalau dulu bonjor sering kita jumpai dipikul oleh para pedagang legen atau tuak yang di pinggir jalan, sekarang agak sulit ditemui, karena bonjor digantikan oleh jerigen plastik.
Sekarang penjual Tuak di pinggir jalan tidak lagi menggnakan bonjor dan centhak, cukup dan lebih praktis menggunakan jerigen dan gelas plastik.
Kembali pada masa pati wolo, para kaum angkatan udara Siwalan ini lebih banyak waktunya untuk mengelola ladang mereka. Pada masa ini penanaman Jagung, Ubikayu, Kacang Tanah, Sorgum atau ”Orean” menjadi aktifitas utama. Namun banyak juga para pasukan angkatan udara Siwalan ini pergi merantau mencari pekerjaan lain atau bisnis lain bahkan sampai ke luar daerah, demi mengisi masa-masa pati wolo.
Seperti di Boto Semanding, kampungnya Pak Sogi dan Pak Rosan, dulu sampai sekarang ini pada saat seperti ini banyak orang yang ke Bali untuk mencari pekerjaan sebagai Tukang ataupun pekerjaan lainnya. Soalnya agak sulit mencari kerja di Tuban sendiri dengan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya, yang biasanya hanya tukang atau kuli bangunan. Di Tuban ada sih proyek, tapi sudah banyak orang yang mengisinya, sedangkan untuk proyek-proyek di Bali mereka ada kenalan dengan para broker tenaga borongan proyek.
Alternatif upaya mengurangi kekurangan serapan kerja kebun Siwalan dengan produksi nira Siwalan sepanjang tahun.
Pada saat pati wolo ini berarti serapan pekerjaan di kebun Siwalan berkurang, sehingga para petani dan pemanjat Siwalan kurang aktifitasnya. Petani di Tuban sudah merasa kalau menganggur siapa yang bayar, apa yang akan dihasilkan? Ini namanya etos kerja produktif. Etos kerja produktif berarti kemauan untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu sehingga bernilai, bermanfaat untuk kehidupan masa-masa besuk dan yang akan datang. Bisa jadi ini yang disebut sebagai etos bekerja produktif, ada yang mengatakan etos kerja berat.
Namun sudahkah pilihan pekerjaan itu menjadi pilihan yang cerdas? Ini perlu diuji dengan beberapa kriteria sehingga pilihan itu bisa disebut sebagai memiliki etos bekerja cerdas. Cerdas atau tidak cerdasnya adalah tergantung dari efektifitas capaian hasil kerja serta tingkat efesiensi sumberdaya yang digunakan dalam mencapai hasil kerja itu. Semakin efektif dan efisien dalam menggunakan sumberdaya yang ada berarti semakin cerdas juga kita dalam bekerja.
Maksud saya, adalah kalau kita mau agar petani Siwalan kita yang mempunyai etos kerja tinggi ini juga dapat memanfaatkan waktunya bekerja di Tuban saja ntuk mengelola sumberdaya alam yang lebih kompetitif dalam nilai ekonominya di banding di daerah lainnya. Untuk itu para pengambil kebijakan di Tuban atau di daerah mana saja Siwalan ditanam bisa memaksimalkan keunggulan dari komoditi Siwalan ini lebih kompetitif.
Cara satu-satunya adalah dengan pegelolaan kebun Siwalan yang lebih intensif lagi. Masa-masa pati wolo ini sebenarnya bukan saja karena pergantian musim atau siklus musim, namun juga akibat dari perlakukan dari para petaninya yang memang belum mengetahui trik-trik dalam mengatur produktifitas Siwalan agar bisa berproduksi sepanjang tahun. Kenapa cara-cara seperti ini belum diketahui oleh petani kita sampai saat ini? Mungkin karena mereka hanya mengambil hasil saja terus-menerus dan merasa dengan perlakuan apa adanya saja sudah memberi hasil. Mereka nrimo saja.
Pak Kusriyanto, dia tidak memiliki pohon Siwalan dan memilih profesi sebagai penjual buah Siwalan di Terminal Bus dan memasok warung-warung Siwalan di pinggir jalan. Sebungkus buah Siwalan yang sudah dikupas ini dijual seharga Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per bungkus isi 5 biji buah. Dia membeli buah Siwalan dari kebun seharga Rp 3.000 per sepuluh buah, setiap buah terdapat rata-rata 3 biji buah.
Ini memang tataran para peneliti atau para projo yang mengambil kebijakan dan keputusan. Masalah pati wolo ini memang sederhana, namun rupanya berpengaruh pada pranata kehidupan sosial di kampung-kampung para penyadap nira Siwalan ini. Namun kalau mereka tidak peka pada masalah yang dihadapi masyarakat di bawah juga agak susah merasakan fenomena ini. Maka barangkali Raden Mas Said si Brandal Lokajaya bisa dipanggil untuk merasakan ’kegetiran’ nasib kaum kecil di Tuban. (bersambung)
1 komentar:
JUAL BUAH LONTAR
Dalam bentuk butiran untuk dikirim dalam maupun luar negeri
Harga Rp.6000 / butir
Jual Minuman Kesehatan
Prodiksi Home Industries
bahan Dari buah Lontar ( Legen LONTAR )
Harga Rp.10.000 / 500ml
Kemasan Botol Kegunaan Untuk Mengobati Penyakit Dalam
( saluran pencernaan )
Berminat Hubungi :
08561433150
02194445766
qnada1107@gmail.com
Posting Komentar