Pohon lontar yang bermanfaat dari akar hingga niranya, seharusnya berkesempatan untuk dikembangkan sehingga bernilai ekonomi tinggi.
HEMBUSAN angin kering terasa keras menerpa dedaunan yang gugur di sepanjang jalan lintas Pelabuhan Pantai Baru menuju Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Gugusan bukit menjulang dan kawasan ladang serta sawah tadah hujan yang tandus silih berganti mewarnai perjalanan, Sabtu (15/11) siang. Kondisi itu berbeda dengan ribuan pohon lontar yang tumbuh di antara rumah penduduk.
Di musim panas yang identik dengan paceklik, warga memanfaatkan nira, hasil sadapan lontar, untuk diminum.
Minum nira dipercaya membuat orang bertahan terhadap lapar. Rasanya manis bercampur asam, disertai aroma khas.
Nira bisa dimasak menjadi gula air atau disebut juga dengan tuak nasu. Gula air berwarna kuning kecokelatan.
Bila gula air dimasak hingga kering dan dibentuk lempengan akan disebut gula lempeng. Bisa juga nira yang dikeringkan tersebut dihaluskan menjadi tepung. Gula yang dihaluskan itu dinamai gula semut.
Produk-produk yang berbahan baku nira itu sudah beredar di pasar tradisional hampir seluruh wilayah NTT.
Menyadap
Tradisi warga yang mendiami Pulau Rote ketika musim paceklik (Juli hingga November) adalah menyadap nira. Seperti diakui Zakaris, 48, warga Desa Maubesi, Kecamatan Rote Tengah.
Biasanya, nira banyak disadap pada Juli hingga November. Hasilnya, sebagian dijual dengan harga Rp15 ribu per liter. Sisanya, untuk persediaan musim paceklik.
Setiap pagi, lelaki yang hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar itu memanjat pohon lontar dengan membawa alat sadap yang disebut haik (wadah setengah lingkaran yang dibuat dari daun lontar) untuk menampung nira. Keesokan harinya, Zakaris mengambil haik yang sudah dipenuhi nira, dan menggantinya dengan haik yang baru.
Bernilai ekonomi tinggi
Saat ini terdapat sedikitnya 792.748 pohon lontar penghasil nira yang tumbuh tersebar di desa-desa di pulau paling selatan di Indonesia tersebut.
Penelitian Rosdiati Napitupulu dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, nira berasal dari lontar masih bisa dikembangkan untuk menciptakan kegiatan produktif yang bernilai ekonomi tinggi, seperti etanol, asam asetat, gliserin, dan nata de nira.
Menurut Dia, nata yang terbut dari nira lontar, lebih mudah dan cepat membentuk biomassa jika dibandingkan dengan nata yang terbuat dari kelapa (nata de coco).
"Wilayah Nusa Tenggara Timur sangat berpotensi untuk pengembangan agroindustri dan agrobisnis mengingat produksi bahan dasar yang sangat melimpah khususnya nira lontar dan nira kelapa yang masih belum dimanfaatkan secara optimal," katanya.
Untuk kesehatan
Penduduk yang bermukim di sentra-sentra lontar telah memanfaatkan bagian tanaman itu untuk mengobati berbagai jenis penyakit.
Manfaat bagian bunga lontar atau abu mayang (spadix) dipercaya untuk pengobatan sakit lever. Adapun arang kulit batang digunakan untuk menyembuhkan sakit gigi, dan rebusan kulit batang ditambah garam, berkhasiat sebagai obat pembersih mulut.
Berbagai manfaat lontar tersebut sebagian besar tidak ada tindak lanjutnya walaupun sudah dilakukan sejumlah penelitian.
Pada akhirnya lontar diharapkan akan menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) pada kabupaten yang telah berpisah dari Kupang sejak lima tahun lalu itu. (N-1)
Sumber : http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDUzODM=
1 komentar:
Kelebihan nata de nira dibanding nata de coco:
(1) tidak butuh acetobacter xylium, karena di nira siwalan secara alami telah tersedia,
(2) kadar sellulosa pada nira siwalan lebih pekat dibanding dengan air kelapa,
(3) jika digunakan nira siwalan bekas (kadar cukaknya lebih tinggi), tidak perlu cukak tambahan untuk mengkondisikan kondisi proses pembuatan nata de nira
Posting Komentar