....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi....

Senin, 05 Agustus 2013

Siwalan Buah Khas Ramadhan

 siwalan
 
Siwalan Buah Khas Ramadhan
Bagi Siti Maemaunah di Surabaya, Jawa Timur, siwalan Borassus flabellifer adalah sumber pendapatan sehari-hari. Namun begitu menjelang datangnya bulan Ramadhan, bulan suci umat islam, yang pada 2013 akan berlangsung mulai minggu pertama Juli sampai pekan awal Agustus, ia harus mempersiapkan siwalan lebih banyak dari biasanya. Harap mafhum di saat seperti itu buah siwalan dan air nira buah siwalan atau legen menjadi menu yang wajib ada.

Di saat Ramadhan Siti yang sudah berdagang buah siwalan sejak 10 tahun lalu bisa mendapatkan penghasilan lebih. Itu sudah termasuk menjual legen–cairan nira dari pohon siwalan–yang paling diminati konsumen. Siti biasanya akan membeli buah siwalan dan legen langsung ke Tuban, Jawa Timur. Tuban memang salah satu sentra pohon siwalan di Pulau Jawa dengan penyebaran pohon di 6 kecamatan seperti Kecamatan Kebonmas, Manyar, Dukun, dan Panceng.

Setiap pekan dengan berbekal Rp600.000 Siti dapat membawa 1 colt buah siwalan. Biaya itu di luar ongkos angkut sebesar Rp200.000. Ibu 2 anak itu membeli buah siwalan Rp6.500/10 butir dan menjualnya kembali Rp2.000/butir ukuran besar (isi 3 daging buah). Legennya dijual seharga Rp2.000–Rp2.500/botol isi 1,5 liter. Setiap hari paling tidak Siti dapat meraup omzet Rp75.000–Rp100.000.

Sejatinya pohon siwalan termasuk keluarga palma atau pinang-pinangan. Tumbuhan ini  banyak tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di tanahair pohon siwalan mudah dijumpai di timur Indonesia seperti di Jawa Timur, Madura, Bali, NTB, dan NTT, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang disebut terakhir bahkan menjadikan pohon siwalan sebagai ikon flora negeri Angin Mamiri itu.

Nah buah siwalan berada dalam tandan buah. Jumlahnya sekitar 20-an butir dengan sosok buah bulat berdiameter sampai 15 cm. Warna kulitnya hitam kecokelatan dengan tempurung tebal dan keras. Yang menarik buah siwalan yang banyak mengandung karbohidrat dan sedikit lemat itu pada setiap buah siwalannya memiliki tiga lembaga. Setiap lembaga tersebut memiliki tempurung yang di dalamnya daging buah dan air nira.

Produktivitas pohon siwalan cukup besar mencapai 22.000–23.000 buah atau setara 7.200–7.500 kg per hektar per tahun dan produksi air nira atau legen mencapai 5–6 liter setiap pohon. Biaya perawatan per hektar rata-rata mencapai Rp4-juta per tahun.

Nah meskipun jarang kita bisa menjumpai penjual legen memakai bambu atau bonjor di beberapa penjual di Surabaya maupun Tuban. Bonjor biasanya dibuat memakai bambu besar yang ruas di dalamnya telah dihilangkan. Setiap bonjor bisa menampung sampai 15 liter legen. Nah air legen dari bonjor biasanya dituangkan ke dalam gelas. Fungsi gelas bisa digantikan dengan bambu yang dalam bahasa Tuban disebut sebagai centak. 

Lantas bagaimana legen tersebut diperoleh? Legen didapat dengan menyadap tangkai tandan bunga. Nah tangkai tandan bunga yang disadap biasanya tandan bunga jantan. Caranya cukup sederhana, terlebih dahulu memijat-mijat tandan bunga, lalu menjepitnya memakai bilah bambu. Tanda bunga betina biasanya dibiarkan menjadi buah.
 
Sumber :   http://www.bebeja.com/siwalan-buah-khas-ramadhan/
Bagi Siti Maemaunah di Surabaya, Jawa Timur, siwalan Borassus flabellifer adalah sumber pendapatan sehari-hari. Namun begitu menjelang datangnya bulan Ramadhan, bulan suci umat islam, yang pada 2013 akan berlangsung mulai minggu pertama Juli sampai pekan awal Agustus, ia harus mempersiapkan siwalan lebih banyak dari biasanya. Harap mafhum di saat seperti itu buah siwalan dan air nira buah siwalan atau legen menjadi menu yang wajib ada.
Di saat Ramadhan Siti yang sudah berdagang buah siwalan sejak 10 tahun lalu bisa mendapatkan penghasilan lebih. Itu sudah termasuk menjual legen–cairan nira dari pohon siwalan–yang paling diminati konsumen. Siti biasanya akan membeli buah siwalan dan legen langsung ke Tuban, Jawa Timur. Tuban memang salah satu sentra pohon siwalan di Pulau Jawa dengan penyebaran pohon di 6 kecamatan seperti Kecamatan Kebonmas, Manyar, Dukun, dan Panceng.
Setiap pekan dengan berbekal Rp600.000 Siti dapat membawa 1 colt buah siwalan. Biaya itu di luar ongkos angkut sebesar Rp200.000. Ibu 2 anak itu membeli buah siwalan Rp6.500/10 butir dan menjualnya kembali Rp2.000/butir ukuran besar (isi 3 daging buah). Legennya dijual seharga Rp2.000–Rp2.500/botol isi 1,5 liter. Setiap hari paling tidak Siti dapat meraup omzet Rp75.000–Rp100.000.
Sejatinya pohon siwalan termasuk keluarga palma atau pinang-pinangan. Tumbuhan ini  banyak tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di tanahair pohon siwalan mudah dijumpai di timur Indonesia seperti di Jawa Timur, Madura, Bali, NTB, dan NTT, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang disebut terakhir bahkan menjadikan pohon siwalan sebagai ikon flora negeri Angin Mamiri itu.
Nah buah siwalan berada dalam tandan buah. Jumlahnya sekitar 20-an butir dengan sosok buah bulat berdiameter sampai 15 cm. Warna kulitnya hitam kecokelatan dengan tempurung tebal dan keras. Yang menarik buah siwalan yang banyak mengandung karbohidrat dan sedikit lemat itu pada setiap buah siwalannya memiliki tiga lembaga. Setiap lembaga tersebut memiliki tempurung yang di dalamnya daging buah dan air nira.
Produktivitas pohon siwalan cukup besar mencapai 22.000–23.000 buah atau setara 7.200–7.500 kg per hektar per tahun dan produksi air nira atau legen mencapai 5–6 liter setiap pohon. Biaya perawatan per hektar rata-rata mencapai Rp4-juta per tahun.
Nah meskipun jarang kita bisa menjumpai penjual legen memakai bambu atau bonjor di beberapa penjual di Surabaya maupun Tuban. Bonjor biasanya dibuat memakai bambu besar yang ruas di dalamnya telah dihilangkan. Setiap bonjor bisa menampung sampai 15 liter legen. Nah air legen dari bonjor biasanya dituangkan ke dalam gelas. Fungsi gelas bisa digantikan dengan bambu yang dalam bahasa Tuban disebut sebagai centak.
Lantas bagaimana legen tersebut diperoleh? Legen didapat dengan menyadap tangkai tandan bunga. Nah tangkai tandan bunga yang disadap biasanya tandan bunga jantan. Caranya cukup sederhana, terlebih dahulu memijat-mijat tandan bunga, lalu menjepitnya memakai bilah bambu. Tanda bunga betina biasanya dibiarkan menjadi buah.
- See more at: http://www.bebeja.com/siwalan-buah-khas-ramadhan/#sthash.o17yMPts.dpuf

Bagi Siti Maemaunah di Surabaya, Jawa Timur, siwalan Borassus flabellifer adalah sumber pendapatan sehari-hari. Namun begitu menjelang datangnya bulan Ramadhan, bulan suci umat islam, yang pada 2013 akan berlangsung mulai minggu pertama Juli sampai pekan awal Agustus, ia harus mempersiapkan siwalan lebih banyak dari biasanya. Harap mafhum di saat seperti itu buah siwalan dan air nira buah siwalan atau legen menjadi menu yang wajib ada. - See more at: http://www.bebeja.com/siwalan-buah-khas-ramadhan/#sthash.o17yMPts.dpuf
Bagi Siti Maemaunah di Surabaya, Jawa Timur, siwalan Borassus flabellifer adalah sumber pendapatan sehari-hari. Namun begitu menjelang datangnya bulan Ramadhan, bulan suci umat islam, yang pada 2013 akan berlangsung mulai minggu pertama Juli sampai pekan awal Agustus, ia harus mempersiapkan siwalan lebih banyak dari biasanya. Harap mafhum di saat seperti itu buah siwalan dan air nira buah siwalan atau legen menjadi menu yang wajib ada.
Di saat Ramadhan Siti yang sudah berdagang buah siwalan sejak 10 tahun lalu bisa mendapatkan penghasilan lebih. Itu sudah termasuk menjual legen–cairan nira dari pohon siwalan–yang paling diminati konsumen. Siti biasanya akan membeli buah siwalan dan legen langsung ke Tuban, Jawa Timur. Tuban memang salah satu sentra pohon siwalan di Pulau Jawa dengan penyebaran pohon di 6 kecamatan seperti Kecamatan Kebonmas, Manyar, Dukun, dan Panceng.
Setiap pekan dengan berbekal Rp600.000 Siti dapat membawa 1 colt buah siwalan. Biaya itu di luar ongkos angkut sebesar Rp200.000. Ibu 2 anak itu membeli buah siwalan Rp6.500/10 butir dan menjualnya kembali Rp2.000/butir ukuran besar (isi 3 daging buah). Legennya dijual seharga Rp2.000–Rp2.500/botol isi 1,5 liter. Setiap hari paling tidak Siti dapat meraup omzet Rp75.000–Rp100.000.
Sejatinya pohon siwalan termasuk keluarga palma atau pinang-pinangan. Tumbuhan ini  banyak tumbuh di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di tanahair pohon siwalan mudah dijumpai di timur Indonesia seperti di Jawa Timur, Madura, Bali, NTB, dan NTT, dan Sulawesi Selatan. Provinsi yang disebut terakhir bahkan menjadikan pohon siwalan sebagai ikon flora negeri Angin Mamiri itu.
Nah buah siwalan berada dalam tandan buah. Jumlahnya sekitar 20-an butir dengan sosok buah bulat berdiameter sampai 15 cm. Warna kulitnya hitam kecokelatan dengan tempurung tebal dan keras. Yang menarik buah siwalan yang banyak mengandung karbohidrat dan sedikit lemat itu pada setiap buah siwalannya memiliki tiga lembaga. Setiap lembaga tersebut memiliki tempurung yang di dalamnya daging buah dan air nira.
Produktivitas pohon siwalan cukup besar mencapai 22.000–23.000 buah atau setara 7.200–7.500 kg per hektar per tahun dan produksi air nira atau legen mencapai 5–6 liter setiap pohon. Biaya perawatan per hektar rata-rata mencapai Rp4-juta per tahun.
Nah meskipun jarang kita bisa menjumpai penjual legen memakai bambu atau bonjor di beberapa penjual di Surabaya maupun Tuban. Bonjor biasanya dibuat memakai bambu besar yang ruas di dalamnya telah dihilangkan. Setiap bonjor bisa menampung sampai 15 liter legen. Nah air legen dari bonjor biasanya dituangkan ke dalam gelas. Fungsi gelas bisa digantikan dengan bambu yang dalam bahasa Tuban disebut sebagai centak.
Lantas bagaimana legen tersebut diperoleh? Legen didapat dengan menyadap tangkai tandan bunga. Nah tangkai tandan bunga yang disadap biasanya tandan bunga jantan. Caranya cukup sederhana, terlebih dahulu memijat-mijat tandan bunga, lalu menjepitnya memakai bilah bambu. Tanda bunga betina biasanya dibiarkan menjadi buah.
- See more at: http://www.bebeja.com/siwalan-buah-khas-ramadhan/#sthash.o17yMPts.dpuf

Senin, 09 Mei 2011

Menengok Industri Gula Rumahan di Sulawesi selatan

Menengok Industri Gula Rumahan

Kawasan Balandangan Jeneponto tidak hanya dikenal sebagai tempat wisata yang menyajikan keindahan alam yang mempesona. Di tempat ini juga dikenal sebagai sentra pembuatan gula merah pohon lontar.

Ribuan hektar pohon lontar yang menjadi bahan baku utama, terbentang jauh sepanjang mata memandang, menghiasi pantai-pantai dan bukit-bukit nan eksotik di Jeneponto.

Dg. Tiro, bapak kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai pembuat gula merah yang menggeluti usaha pembuatan gula merah dari pohon lontara. Sudah sejak lama ia bersama perajin lainnya cukup berhasil memproduksi gula-gula merah berkualitas yang siap dikonsumsi masyarakat sekitar Jeneponto, Sulawesi Selatan dan wilayah lainnya.

Dari sadapan nira dari pohon lontara, tercipta gula merah yang memiliki cita rasa khas. Beratus biji hingga beribu biji gula merah itu setiap harinya di hasilkan oleh Dg. Tiro dan rekan-rekan sesama perajin lainnya di Ujung Genteng.

Menurut Dg. Tiro, gula merah yang dihasilkan pohon lontara (lokal: Tala') memiliki cita rasa yang khas. Tak jarang banyak masyarakat yang berminat untuk memakainya. Selain bentuk potongan yang lebih besar dari gula kebanyakan, gula merah pohon lontara relatif lebih murah. Selain itu, nira dari pohon lontara bisa setiap hari disadap tanpa perlu khawatir kehabisan pasokan.

Dalam satu lokasi kawasan pembuatan gula merah pohon lontara, terdapat 10 sampai 30 perajin pembuat gula. Biasanya dalam satu kawasan tersebut ada satu pengelola yang memiliki modal lahan dan perkebunan lontara yang disebut sebagai si mandoro.

Para perajin ini biasanya diberikan kebebasan untuk mengambil nira lontara dan mengolahnya menjadi gula, dengan ketentuan si pemilik kebun wajib mendapat setoran produk gula setiap bulannya.

"Satu perajin wajib memberi gula merah 50 biji per hari ke si punya kebun" kata Dg. Tiro saat berbicang dengan team Lontarasakti, di kawasan Balandangan.(9/11/2008).

Menurutnya dalam satu kawasan setidaknya si pemilik lahan harus menyediakan hingga puluhan hektar pohon lontara untuk memenuhi kebutuhan bahan baku nira bagi para perajin. Bisa dibayangkan, jika harga 1 biji gula merah sebesar sabun mandi di hargai Rp 3.000 satu perajin bisa menghasilkan uang Rp 250.000 per bulan buat si pemilik kebun.

Jika itu dikalikan hingga 50 perajin maka setidaknya uang belasan juta akan masuk ke kantong pemilik kebun per bulannya, tanpa harus bersusah payah.

Dari sisi perajin, mengelola pembuatan gula merah cukup menggiurkan juga, maklum rata-rata produksi satu orang perajin bisa menghasilkan 20-50 biji gula merah per harinya. Dari total produksi itu si perajin harus mengumpulkan nira dari puluhan pohon kelapa setiap pagi hari.

"Untuk buat 25 kg gula merah, itu diambil dari sadapan 20 tongka (tong bambu)" timpal Dg. Labbang seorang perajin lainnya.

Menurut Dg. Labbang biasanya satu perajin rata-rata mendapatkan sadapan nira mencapai 20 liter per hari. Dari bahan baku itu bisa dihasilkan kurang lebih linier dengan jumlah produksi per kilogram gula.

Dg. Labbang, mengaku ia bisa mendapat keuntungan bersih per harinya antara Rp 50.000-75.000 per atau setara rata-rata 2 kwintal gula merah per bulan. Ia mengaku biasa menjual kepada tengkulak yang berada di wilayah perkebunan. Keuntungan itu setelah dipotong oleh biaya-biaya untuk kayu bakar kebutuhan 1 bulan kayu dan sene (obat biang).

"Yang berat itu memang di kayu bakar, satu orang sebulan bisa butuh 2 mobil kayu bakar, satu mobil Rp 250.000 dan obat biang sehari Rp 5.000,"

Soal proses pembuatan gula merah kelapa, menurut Dg. Labbang tidaklah susah. Setelah memperoleh sadapan di pagi hari, ia harus menyiapkan tungku besar kayu bakar untuk menggodok nira kelapa. Proses penggodokannya memakan waktu hingga 2 sampai 3 jam, setelah itu adonan mulai mengental dan siap untuk di taruh ke cetakan tempurung kelapa.

"Kita memang jual Rp 2.000 per biji, tapi saya juga nggak tahu dari tengkulak jual ke pasar Tamanroya berapa,"

Meskipun begitu kata Dg. Labbang, usaha pembuatan gula merah rumahan baginya cukup bisa menghidupi keluarganya. Selain itu, pasar gula merah juga cukup tinggi terutama untuk keperluan bahan baku makanan, minuman dan lain-lain. Sehingga ia optimistis industri semacam ini meskipun berskala kecil bisa menjadi roda ekonomi masyarakat desa. (DD/Lontara Sakti)

Sumber : http://lontarasakti.blogspot.com/

Pohon Lontar Jeneponto butuh Industri Gula

Produksi Tuak Jeneponto Butuhkan Industri Gula

Produksi tuak (ballo) oleh masyarakat setempat lebih banyak dijual dalam bentuk minuman keras sampai di Kota Makassar, salah satu penyebabnya, karena minim fasilitas untuk mengolahnya jadi gula, kata anggota DPRD Sulsel Mukhtar Tompo di Makassar, Jumat .



"Kita minta kepada Dinas Perindustrian Sulsel agar mendirikan industri gula merah di sana. Kalau bisa sudah beroperasi 2012," katanya.

Menurut dia, setiap hari masyarakat Jeneponto memproduksi puluhan ribu liter tuak, tetapi belum dirasakan manfatnya karena tidak didukung oleh konsep ekonomi kerakyatan yang sering didengungkan pemerintah.

Ia menyebut, di "bumi turatea" Jeneponto hanya ada satu industri skala kecil pengelolaan gula merah dari nira lontar, itu pun hanya menghasilkan 100 kilo gram gula merah per hari.

"Industri gula merah, lontara sakti, tidak mampu menampung semua tuak yang dijual masyarakat dari Kecamatan Tamalatea. Sementara hampir semua kecamatan menghasilkan tuak," ujar Mukhtar.

Politisi Partai Hanura ini menyebut, di Jeneponto terdapat sekitar satu juta pohon lontar yang tumbuh liar, atau separuh dari wilayahnya ditumbuhi pohon yang dijadikan identitas dan warisan sejarah Sulsel.



Disperindag Sulsel, lanjut dia, cukup mengeluarkan anggaran sekitar Rp1 miliar untuk membangun pabrik yang difasilitasi tangki penampungan tuak, dan alat khusus berkapasitas besar untuk memasak menjadi gula merah.

Tangki penampung sementara, diperlukan untuk memperlambat proses tuak manis menjadi arak kecup (hamar) sebelum diolah menjadi gula.

Jika pabrik tersebut berdiri, Mukhtar, meyakini ekonomi masyarakat setempat meningkat, transaksi minuman keras menurun, dan masyarakat pra sejahtera Jeneponto yang menyebar di berbagai daerah bisa kembali kekampungnya untuk bekerja lebih layak.



"Setiap pohon lontar bisa produksi 10 liter tuak. PT Lontara Sakti membeli Rp20 ribu per jergen (20 liter). Untuk tuak pahit, dulu dijual Rp15 ribu per jergen. Rata-rata Rumah Tangga di sana minimal memiliki 10 pohon lontar," ucapnya.

Meski Disperindag tidak memiliki program pembangunan industri gula di APBD Sulsel 2011, Mukhtar berharap, dinas terkait bersama pemerintah setempat tetap menyosialisasikan kepada masyarakat untuk pengembangan sumber daya lokal. (T.KR-AAT/S016)

Sumber : http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/25066/produksi-tuak-jeneponto-butuhkan-industri-gula

Kamis, 27 Januari 2011

Tabel Komposisi Kimia dari Nira Siwalan dan Nira Kelapa dan Aren

Tabel Komposisi Kimia dari

Nira Siwalan, Nira Kelapa dan Aren





Rabu, 10 Februari 2010

CANE SUGAR VS PALM SUGAR


CANE SUGAR VS PALM SUGAR

By : S.E. Smith, 19 Des 2009
http://www.wisegeek.com/what-is-palm-sugar.htm

Differences between Palm Sugar and Cane Sugar :

No Cane Sugar Palm Sugar
1 Cane Sugar is Sweet Palm Sugar is sweet and delicious
2 Cane Sugar Provides no mineral salts Palm Sugar Provides mineral salts
too
3 Cane Sugar has more sugar content Palm Sugar has less sugar content
4 Cane sugar has less/no nutrition value Palm Sugar contains:
a) Thiamine
b) Riboflavin
c) Nicotinic Acid
d) Ascorbic Acid
e) Protein
f) Vitamin C
5 Cane Sugar is less therapeutic value PalmSugar is good to the problems of
a) Asthmatic
b) Anemic
c) Leprosy
d) To accelerate growth of young
Children
6 Cane sugar sometimes create ill
effects on the health
Palm sugar solution proves a
wonderful food in both early stages
and chronic stages of typhoid
7 Cane Sugar creates cough and cold
when consumed in high quantity Palm Sugar is good remedy for cough
and cold

8 Cane Sugar treats no health problem Palm Sugar treats following diseases
a) reduction of BP
b) To decrease pancreas heat
c) To strengthen heart
d) Helps to build up strong teeth
e) Reduces pitta
9 Cane Sugar is treated as sweet water Palm Sugar is treated as honey

Menyadap Nira Lontar, Menenggak Rupiah

Menyadap Nira Lontar, Menenggak Rupiah

Oleh : S. Budiharta

Pernahkah suatu ketika anda melintas di kota Tuban dan beristirahat sejenak lalu mencoba mencicipi minuman khas sana yang sering disebut legen atau nira lontar? Saran saya, berhati-hatilah, karena alih-alih ingin meneguk segarnya air nira, salah-salah anda malah sakit perut atau menjadi batuk karena gatalnya kerongkongan anda. Jika anda ingin menikmati minuman tersebut dengan aman dan nikmat, cobalah masuk ke pelosok-pelosok kampung dan carilah penyadap yang baru menurunkan bumbung air nira dari pohon lontar.

Beberapa oknum pedagang seringkali mencampur nira lontar dengan air-biasanya menggunakan air mentah-dengan konsentrasi hingga 5:100. Artinya dalam 100 liter ‘nira’ yang dijual, hanya terdapat 5 liter nira asli yang benar-benar disadap dari pohon lontar. Memang, selain lebih murah, nira tersebut menjadi tidak lekas basi sehingga dapat disimpan berhari-hari. Padahal nira asli tidak akan bertahan lebih dari 10 jam, karena bila lewat dari tempo tersebut, air nira akan berbusa, berasa masam dan mengeluarkan bau yang bisa-bisa membuat anda muntah.

Sebenarnya, tanpa mencampur dengan air, nira memberikan keuntungan ekonomi sangat menggiurkan. Sebatang pohon lontar produktif yang terpelihara dengan baik, dapat menghasilkan 3-5 liter air nira sehari, dipanen 2 kali pagi dan sore. Dengan harga per liter di tingkat penyadap Rp1.000-harga yang lebih murah dibanding air mineral dalam kemasan- satu pohon dapat menghasilkan Rp3.000-Rp5.000 per hari.

Seorang petani kecil yang hanya mempunyai 20 pohon lontar saja, dengan tanaman produktif 12 pohon, maka dalam sehari dia mampu menangguk penghasilan hingga Rp36.000-Rp60.000 sehari dengan jam kerja kurang dari 4 jam. Bila dia menyadap kepunyaaan orang lain, maka bagi hasil yang umum disepakati adalah 6:1 dengan penyadap mendapat porsi yang lebih besar. Disela-sela waktu sadapnya, penyadap dapat melakukan pekerjaan lain seperti berkebun, mengolah sawah dan lain-lain sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih besar.

Angka tersebut barulah hitungan kasar, yang tidak memasukkan nilai tanaman lain seperti padi, palawija atau buah-buahan, karena tanaman lontar umumnya dibudidayakan secara tumpangsari sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sistem agroforestry. Pohon lontar dapat ditanam di pinggir-pingir sawah atau sering disebut galengan dengan jarak tanam optimum 5 meter. Keunggulan jenis ini dibanding dengan tanaman lain semisal kelapa adalah akarnya yang sempit dengan sedikit serabut sehingga tidak terlalu menghabiskan banyak tempat.

Nira lontar dapat diolah menjadi beberapa produk turunan seperti gula dan tuak (alkohol). Gula lontar memiliki citarasa yang berbeda jika dibandingkan dengan gula tebu, gula aren atau gula kelapa dengan rasa legit dan sedikit masam. Untuk menghasilkan 1 kg gula lontar seharga Rp5.000, dibutuhkan air nira sebanyak 6-7 liter dengan waktu olah 3-4 jam. Kurang menguntungkan jika dibandingkan menjual langsung dalam bentuk nira segar atau legen.

Potensi lain yang masih bisa dimanfaatkan adalah daun lontarnya dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan atau souvenir. Para pengrajin biasa membeli dengan harga Rp1.200 tiap setengah pelepah. Dalam 1 tangkai pelepah hanya setengah sisi saja yang dapat dimanfaatkan karena sisi yang lain tertekuk.

Buah lontar yang masih muda dapat dijual sebagai buah segar dengan harga Rp500 per buah. Dalam 1 buah terdapat 3 biji (tempurung) dimana didalamnya berisi daging buah berwarna putih segar dengan tekstur lembut dan sedikit kenyal seperti kelapa muda atau aren. Beberapa asam amino yang terkandung di dalamnya antara lain alanin, serin, arginin dan glutamin.

Sedangkan buah yang tua, atau sering disebut keling, masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal seperti jenis-jenis palem yang lain seperti kelapa sawit atau kelapa, daging buahnya dapat diolah menjadi minyak goreng. Tandan bunganya bahkan dapat digunakan sebagai obat pegal linu. Selain itu masih banyak kegunaan tanaman yang di India disebut pohon dengan 800 manfaat ini.

Secara agronomi, budidaya lontar tidaklah terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah kering berpasir hingga ketinggian 800 m diatas permukaan laut bahkan di kawasan-kawasan dimana jenis palem produktif lain seperti aren atau kelapa tidak mampu berkompetisi. Jenis dengan nama latin Borassus flabellifer ini juga sangat mudah beradaptasi, tahan terhadap kekeringan dan mampu bertahan dengan curah hujan 500-900 mm per tahun.

Perbanyakan umumnya menggunakan biji dengan cara langsung meletakkannya ke tanah tanpa menyemainya terlebih dahulu. Bibit lontar amat sensitif karena memindahkan pada saat telah menjadi semai (tanaman muda) sangatlah sulit dan rawan mati. Lontar akan mulai berbunga dan berbuah pada umur 12-20 tahun, biasanya pada musim kemarau. Untuk menyadap nira, tangkai bunga disayat tipis melintang, lalu diletakkan bumbung pada ujung sayatan untuk menampung cairan nira yang menetes. Sebelumnya, bumbung harus sibersihkan dengan air panas, dibubuhi kapur halus (enjet) dan dipasangi laru (semacam serambut) untuk menyaring tetesan nira.

Meskipun lontar memiliki beragam potensi yang sedemikian besar, hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat tertarik untuk membudidayakannya. Khusus di Kabupaten Tuban yang merupakan kawasan dengan populasi lontar terbesar di Pulau Jawa, keberadaan tanaman ini perlu mendapat perhatian khusus. Banyak pohon lontar produktif yang ditebangi, sedangkan tanaman mudanya tidak terpelihara dan bahkan cenderung dimatikan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini mengakibatkan jumlah populasinya turun drastis sehingga dikhawatirkan akan mengalami pelangkaan. Padahal dahulu, Indonesia dengan kerajaan Majapahitnya pernah tercatat sebagai negara pengekspor daun lontar terbesar di dunia.

Permasalahan yang terjadi adalah mulai bergesernya nilai-nilai sosial terutama di kalangan anak-anak muda. Generasi muda di sana mulai enggan memanjat pohon lontar karena pekerjaan tersebut harus berkotor-kotor sehingga dianggap tidak memiliki gengsi. Para pemuda lebih memilih merantau ke kota besar atau menjadi TKI ke luar negeri meskipun pekerjaan yang dijalani umumnya adalah buruh kasar. Pekerjaan menyadap nira saat ini hanya dilakukan oleh generasi tua yang berusia di atas 40 tahun, padahal dahulu hampir seluruh penduduk Tuban mampu dan mau memanjat karena kebanyakan hidup mereka ditopang oleh hasil pohon lontar. (S. Budiharta)

Artikel lama yang pernah diposting pada Jumat, 9 Juni 2006)
Sumber : UPT BKTKR Purwodadi (http://www.krpurwodadi.lipi.go.id)

Selasa, 06 Oktober 2009

Gula Lempeng dari Nusa Lontar

Sumber : http://blog.reynoldsumayku.com/?p=1102










Gula Lempeng dari Nusa Lontar

Andreas Mooy mengaku lupa berapa umurnya secara persis. Ia hanya memberi ancar-ancar di atas 70 tahun. Wajahnya memang dipenuhi keriput. Tetapi rekan saya om Yeremi berbisik kepada saya, mungkin Pak Andreas salah hitung umur. Buktinya, Andreas berkali-kali memanjat pohon lontar pagi itu dengan kecekatan yang sangat mencengangkan untuk ukuran lelaki berumur 70-an. Otot-ototnya tampak sungguh liat.

Kami sedang mengunjungi kebun dekat kediaman Andreas dan istrinya yang keempat, Yunce Unbanu (asal Timor), di Desa Oehandi, Pulau Rote. Saya ingin melihat dari dekat bagaimana air dari pohon lontar diproses menjadi gula berbentuk lempengan-lempengan kecil. Dengan latar belakang suara tawa anak-anak yang sedang bermain, Andreas yang tidak lancar berbahasa Indonesia itu sedang menunjukkannya.

Dengan bantuan Om Yeremi sebagai penerjemah, gambaran tentang gula lempeng saya dapatkan. Juni-Juli adalah bulan-bulan di mana lontar paceklik dari nira. Airnya kering. Kemudian mulai Agustus hingga November adalah saatnya masyarakat Rote banyak membuat gula lempeng dan gula cair dari pohon lontar, karena airnya sedang banyak-banyaknya. Desember hingga Maret, dengan asumsi standar bahwa itu sedang musim penghujan, pohon-pohon lontar biasanya tidak menghasilkan air sama sekali.

Jika Andreas bertugas memanjat pohon, mengambil nira, dan menurunkannya ke bawah dengan wadah dari daun lontar, Yunce bertugas merebus, mencetak, mendinginkan, kemudian menjual gula-gula lempeng yang dihasilkan. Ia biasanya menjual kepada pengumpul dengan harga 100 rupiah per lempeng. Dalam sehari mereka membuat minimal 150 lempengan gula.

Waktu memotretnya hanya sekitar dua jam lebih sedikit. Saya jauh dari kata puas dengan hasilnya. Tetapi setidaknya, setelah yang satu ini saya merasa lega karena target dari perjalanan ke Rote cukup terpenuhi.


Keterangan Foto :
(1) Om Yeremi Pah (jaket merah) di bawah pohon-pohon lontar dekat Danau Tua. Di Rote, ada satu jenis pohon lagi yang mirip lontar yakni pohon gewang. “Tetapi gewang tidak begitu banyak kegunaannya dibanding lontar,” katanya.

(2) Andreas Mooy di atas pohon lontar.

(3) Wadah yang digunakan terbuat dari daun lontar pula. Ini Pak Andreas Mooy dari dekat. Anda percaya ia berumur 70-an tahun? Saya percaya.

(4) Yunce Unbanu tengah mendidihkan air nira dari pohon lontar. Awalnya berwarna putih, ketika mengental akan berwarna cokelat.

(5) Gula lempeng yang masih cair dituangkan ke dalam cetakan-cetakan yang dibuat dari daun lontar juga. Kemudian didinginkan.

(6) Sudah mulai mengering.