....Selamat untuk anakku Alifia Qurata Ayun wisuda Sarjana Farmasi....

Jumat, 21 November 2008

LEGEN DAN TUAK SIWALAN DARI TUBAN

MENGENALI SIWALAN TUBAN
mulai bonjor, centhak, wolo dan gathik

Siwalan adalah tanaman jenis palma yang banyak tumbuh di daerah pesisir yang beriklim panas dan kering dengan hembusan angin laut yang sedikit kuat. Tuban, Lamongan, Gresik, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso dan beberapa daerah sepanjang pantai utara (pantura) Pulau Jawa, adalah daerah endemik pohon Siwalan.

Penulis menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa petani Siwalan di Tuban, tepatnya adalah Pak Sogi dan Pak Rosan di Desa Boto, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Dari dua orang nara sumber inilah tulisan ini bermula, yang ternyata memiliki prospek yang cukup bagus juga.

Siwalan di daerah Kabupaten Tuban seakan menjadi icon daerah ini. Kota Tuban kadang sering disebut Kota Tuak, Kota Tuak Tuban. Di beberapa penjuru kota Tuban banyak ditemui kerumunan orang di pinggir jalan yang duduk-duduk mengelilingi Jerigen Tuak, dengan tuak yang tersaji di gelas-gelas para peminum.  

Di sepanjang jalan antara Pakah dan Tuban terdapat banyak sekali deretan warung-warung yang menjual aneka produk Siwalan, seperti Buah Siwalan yang dibungkus plastik, Legen atau Tuak yang dikemas dalam botol Aqua besar dan tanggung, bahkan jerigen yang sekitar 5 literan.  

Dulu tuak ditampung dalam bumbung bambu yang panjangnya sekitar 150 cm yang disebut bonjor. Bonjor terbuat dari bambu besar beberapa ruas, yang mana ruas-ruasnya yang menyekat dibuka sehingga ruas-ruasnya terbuka. Bonjor ini biasanya bagian luarnya dililiti oleh anyaman daun siwalan yang melingkari bumbung bambu bonjor. Bonjor bisa menampung sekitar 10-20 liter tuak atau legen. Di ujung mulut bonjor biasanya ditutup dengan belahan pita tipis dari daun Siwalan sebagai alat penutup sekaligus penyaring Tuak atau Legen bila dituang di centhak.

Tempat untuk minum yang khas sebenarnya tebuat dari sekerat bambu. Bambu dengan tinggi sekitar 10 cm yang dijadikan gelas minuman ini disebut centhak. Bibir dan dinding centhak biasanya sudah ditipiskan, sehingga memudahkan apabila dipakai untuk wadah minuman. Sampai sekarang pun centhak masih gampang ditemui di Tuban.

Legen atau Tuak ini sebenarnya adalah air nira yang keluar dari pohon Siwalan melalui tangkai tandan bunga yang dipotong atau diiris atau disadap atau dideres. Tangkai tandan bunga ini lah yang dalam bahasa orang Tuban disebut dengan wolo. Ngunduh tetese wolo berarti memungut tetesan nira dari tangkai tandan bunga yang disadap.  

Ada dua macam wolo atau tangkai tandan bunga, yaitu wolo lanang dan wolo wadon. Tangkai tandan bunga jantan dan tangkai tandan bunga betina. Semuanya bisa disadap air niranya. Namun yang pasti diambil niranya adalah yang jantan, sedang yang betina kadang dibiarkan tidak disadap karena dipelihara buahnya.

Wolo tidak begitu saja mengeluarkan niranya, tetapi mesti dilakukan dulu perlakuan agar dapat mengeluarkan nira. Caranya wolo yang sudah hampir maksimal perkembangannya diperlakukan seperti dipijat-pijat atau dijepit dengan dua bilah bambu yang tebal atau gilig. Alat penjepit yang terbuat dari dua bilah bambu itu disebut dengan gathik.

Ada 2 (dua) macam gathik, yaitu gathik untuk bunga jantan bentuknya agak melebar, dan gathik untuk bunga betina biasanya agak gilig atau bulat. Hal ini karena pada tangkai bunga betina posisi menjepinya yang agak susah, karena tangkai tandan bunga betina biasanya agak brendhol-brendhol. Penjepitan wolo dengan gathik ini dilakukan secara terus menerus setiap hari selama 1 minggu. Setelah ada tanda-tanda wolo akan mengeluarkan niranya, maka pemotongan wolo pun akan dilakukan.

Sebenarnya masih banyak istilah-istilah lokal seputar Siwalan dan produknya. Mudahan suatu saat nanti Allah menakdirkan dapat mengunjungi Tuban lagi dan menulis lagi. Atau barangkali ke daerah lain yang memiliki potensi Siwalan sangat bagus, yang bisa digali banyak cerita seputar Siwalan serta istilah-istilah lokal sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia. Biar kita semakin mencintai Indonesia.

Terimakasih.

2 komentar:

Faidur Rochman mengatakan...

Adalah lebih baik jika nira siwalan (sebelum menjadi tuak) diawetkan dan dibottling (dikemas). dengan demikian akan memiliki 3 keuntungan : (1) meningkatkan kesejahteraan petani siwalan, karena dapat dipasarkan ke luar daerah (harga lebih kompetitif), (2) legen dapat dipasarkan sepanjang musim, karena saat produksi nira siwalan turun, dapat distok saat produksi nira melimpah, (3) mengurangi angka kriminalitas, karena jika pemasaran tuak dapat dikurangi dengan hadirnya legen dalam kemasan, maka barang haram tersebut tidak merusak msyarakat

Infotech25 mengatakan...

Saya setuju dengan komentar Faidur Rochman. Kebetulan saat ini saya sedang melakukan trial/percobaan untuk mengemas legen/nira siwalan ke dalam gelas/cup plastik. Namun saya agak terkendala dengan pasokan bahan baku karena kebanyakan (yang saya tahu) pemilik pohon siwalan lebih suka menjual dalam bentuk tuak daripada legen, karena harga tuak lebih mahal per botolnya. Kira-kira dimana saya bisa mendapatkan pasokan bahan baku legen yang kontinyu dengan harga Rp. 2.000/botol aqua ukuran 1,5 liter?